Moral dan delima eh dilema…

Sekali lagi pikiran bodoh ini menerawang entah kemana, dan sekali lagi pikiran ini usil membicarakan masalah agama dalam kehidupan generasi muda . Kenapa tidak, dalam pengamatan saya belakangan ini kehidupan beragama generasi muda bali tak ubahnya seperti lalat. Yang sesekali hinggap di tempat suci dalam artian sejalan dengan moralitas agama dan pada lain kesempatan mereka hinggap di tempat maksiat semacam kompleks pelacuran dan mabuk2an.

Tampaknya itu tidak bisa disederhanakan, karena kepesatan perkembangan duniawi kota denpasar jauh meninggalkan pembelajaran kaum muda mendalami pembelajaran agamanya. Dinamika duniawi pun jauh lebih tinggi perputarannya. Realitas ini kemudian memunculkan ralitas yang tarik menarik dan tawar menawar, antara moralitas agama dengan nilai2 yang lain. Dan sialnya justru saling bertentangan. Dan apabila muncul pemikiran permisif di kalangan muda di bali maka itu mungkin buah dari kesenjangan itu. Dan ada satu lagi yang perlu di tegaskan, bagaimana kaum muda bisa menjaga moralitasnya apabila kaum tua yang terbiasa berbicara di mimbar menjelaskan tentang moral dan agama namun apabila saat di bawah mimbar mereka terbiasa check in di hotel melati or bungalow dan tertangkap saat berselingkuh 😯 ❓

Lihatlah pada kenyataan pada hari raya, bentuk permainan bermuatan judi sudah menjadi bentuk kelaziman, dan khususnya pada saat hari raya nyepi yang nota bene kita harus mengajarkan perenungan diri melalui tapa bratha dan semedi, justru bertolak belakang karena mereka sibuk ber panca sila [panca=lima, sila=duduk] duduk berlima sambil memainkan judi ceki , dan coba lihat di lapangan puputan di depan pura Jagat Natha denpasar saat bulan purnama, banyak sekali jenis permainan yang mengarah ke perjudian yang tergelar bebas.

Semula kegairahan masyarakat muda hindu bali dalam ke pura sempat mendapatkan reaksi positif dari kalangan masyarakat, namun seiring dengan perjalanan waktu, reaksi positif itu mendapat pertanyaan. Karena menurut mereka,kaum muda bersembahyang bukan lantaran di barengi dengan niat tulus ikhlas menghadap sang pencipta atau dalamnya pendidikan agama yang mereka peroleh namun mereka terdorong oleh gairah untuk berdandan dan bersolek dan memamerkan ke mewahan dalam balutan busananya. Sebagai contoh boleh di lihat sekarang ini kain kebaya kepura sudah semakin menipis dan hampir tembus pandang. Memang kalau kita berniat untuk sembahyang sieh ndak apa2 namun bukankah manusia itu hidup berbarengan dengan setan juga? Dan sangat diakui pengaruh setan lebih kuat dibandingkan pengaruh tuhan πŸ˜†

Akh..sungguh aneh dunia sekarang ini, orang yang gemar bersembahyang sampai ke pelosok2 gunung dan lembah justru mengeluarkan putusan buat menjual lahan pelaba [asset] pura. Kepribadian ganda itu semakin membuat saya bingung. ck…ck..ck… aneh kan? Jadi ndak salah kan kalau pemikiran bodoh saya mengatakan kehidupan moral masyarakat seperti lalat yang gemar hinggap di sana sini tanpa memiliki pedoman hidup yang jelas, yang sekali2 terlihat sangat religius dan sesekali [sialnya tertangkap] berselingkuh atau sedang di tempat pelacuran 😳 entah apa jadinya dunia ini jika dipenuhi oleh lalat…

*My sweat lunatickroom*